Tragedi Tanjung Priok 1984: Pembantaian Kaum Muslimin Oleh ABRI

      Peristiwa tragedi kemanusiaan di Tanjung Priok pada pertengahan tahun 1984, merupakan salah satu dari sekian banyak rentetan jejak dan fakta kelamnya masa pemerintahan Suharto. Satu masa rezim militer yang berlumuran darah dari awal masa kekuasaannya sampai akhir masa kediktatorannya. Pada masa rezim New Order atau Orde Baru itu, banyak sekali sejarah-sejarah yang tak boleh dipublikasikan, ditulis ulang, dibengkokkan, lalu di propagandakan melalui media-media zombie yang pada masa lalu, bagai ‘media peliharaan’.
      Suharto, presiden diktator era Orde Baru (New Order) yang berkuasa selama 32 tahun yang selalu menang pemilu 6 kali berturut-turut aliashat trick dua kali oleh pemilihan presiden secara tak langsung (dipilih oleh DPR/MPR). Kemiliteran dibentuk untuk menopang kekuasannya dan selalu siap menjalankan perannya sebagai kekuatan negara untuk menghadapi rongrongan ideologi apapun, termasuk ideologi agama yang diakui di Indonesia. Kekuasaan penuh yang dimiliki militer saat itu meluas mencakup penghancuran setiap bentuk gerakan oposisi politik apapun. Fungsi kekuasaan militer untuk melakukan tindakan pemeliharaan keamanan dan kestabilan negara dianggap sebagai suatu bentuk legitimasi untuk dapat melakukan berbagai macam bentuk tindakan provokatif tersistematif dan represif.
      Mereka menggunakan dalih pembenaran sepihak yaitu sebagai tindakan pengamanan terhadap kekuasaan, meskipun dengan melakukan pelanggaran-pelanggaran HAM paling berat sekalipun.
Peristiwa berdarah Tanjung Priok 1984, adalah satu peristiwa yang sudah disiapkan sebelumnya dengan matang oleh intel-intel militer. Militerlah yang menskenario dan merekayasa kasus pembataian Tanjung Priok. Ini adalah bagian dari operasi militer yang bertujuan untuk mengkatagorikan kegiatan-kegiatan keislaman sebagai suatu tindak kejahatan, dan para pelaku dijadikan sasaran korban.
      Terpilihnya Tanjung sebagai tempat sebagai “The Killing Feld” juga bukan tanpa survey dan analisa yang matang dari intelejen. Kondisi sosial ekonomi Tanjung Priok yang menjadi dasar pertimbangan. Tanjung Priok adalah salah satu wilayah basis Islam yang kuat, denga kondisi pemukiman yang padat dan kumuh. Mayoritas penduduknya tinggal dirumah-rumah sederhana yang terbuat dari barang bekas pakai dan kebanyakan penduduknya bekerja sebagai buruh galangan kapal, dan buruh serabutan. Dengan kondisi sosial ekonomi yang rendah ditambah dengan pendidikan yang minim seperti itu, menjadikan Tanjung Priok sebagai wilayah yang mudah sekali terpengaruh dengan gejolak dari luar, sehingga mudah sekali tersulut berbagai isu.
      Suasana panas di Tanjung Priok sudah dirasakan sebulan sebelum peristiwa itu terjadi. Upaya -upaya provokatif memancing massa telah banyak dilakukan. Diantaranya, pembangunan gedung Bioskup Tugu yang sering memutar film maksiat yang berdiri persis berseberangan degan masjid Al-Hidayah. Tokoh-tokoh Islam menduga keras bahwa suasana panas itu memang sengaja direkayasa oleh orang-orang tertentu di pemerintahan yang memusuhi Islam. Suasana rekayasa ini terutama sekali dirasakan oleh ulama-ulama di luar Tanjung Priok. Sebab, di kawasan lain kota di Jakarta terjadi sensor yang ketat terhadap para mubaligh, kenapa di Tanjung Priok sebagai basis Islam para mubalighnya bebas sekali untuk berbicara, bahkan mengkritik pemerintah dan menentang azas tunggal Pancasila. Tokoh senior seperti M Natsir dan Syarifudin Prawiranegara sebenarnya telah melarang ulama untuk datang ke Tanjung Priok agar tidak masuk perangkap, namun seruan itu rupanya tidak terdengar oleh ulama-ulama Tanjung Priok.

           Tragedi Tanjung Priok 1984 Versi Pemerintah                              
      Pemerintahan Soeharto banyak diwarnai peristiwa-peristiwa yang memakan korban jiwa, terutama mengarah terhadap umat Islam. Ini tentu tidak lepas dari “pesan” dan intervensi asing tentang apa yang disebut “politik menekan Islam”. Kasus Tanjung Priok ini menjadi hal yang menarik. Karena tidak ada pernyataan tentang cita-cita Negara Islam yang disampaikan dalam ceramah-ceramah di Tanjung Priok. Yang disampaikan oleh para mubaligh di sana hanyalah ceramah-ceramah tajam dengan satu dua kata menyentil kebijakan penguasa.
       Mereka mengecam kebijakan pemerintah yang dirasa menyudutkan umat Islam. Diantaranya adalah larangan memakai jilbab dan penerapan asas tunggal Pancasila, serta masalah kesenjangan sosial antara pribumi dengan non-pribumi.
     Dalam bukunya Tanjung Priok Berdarah: Tanggung Jawab Siapa? Kumpulan Data dan Fakta (PSPI, 1998 : 26) dijelaskan bahwa proses terjadinya tragedi Priok pada hari Senin, 10 September 1984 ketika seorang petugas yang sedang menjalankan tugasnya di daerah Koja, dihadang dan kemudian dikeroyok oleh sekelompok orang. Petugas keamanan berhasil menyelamatkan diri, tetapi sepeda motornya dibakar oleh para penghadang. Aparat keamanan pun menangkap empat orang pelakunya untuk keperluan pengusutan dan penuntutan sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Untuk mengetahui nasib keempat orang yang ditahan, masyarakat sepakat bergerak ke kantor Kodim. Tetapi permintaan mereka ditolak. Peristiwa ini terjadi pada hari Rabu, 12 September 1984. Pada saat itu, di Masjid Rawabadak berlangsung ceramah agama tanpa izin dan bersifat menghasut. Penceramahnya antara lain Amir Biki, Syarifin Maloko, M. Nasir, tidak pernah diketahui keberadaannya setelah peristiwa malam itu. Kemudian, aparat keamanan menerima telepon dari Amir Biki yang berisi ancaman pembunuhan dan perusakan apabila keempat tahanan tidak dibebaskan.
Setelah itu, sekitar 1500 orang menuju Polres dan Kodim. Hal ini senada dengan apa yang dijelaskan dalam buku Perjalanan Sang Jenderal Besar Soeharto 1921-2008(Santosa, 2008:170) yang menjelaskan bahwa Amir Biki yang memimpin massa menuju Kodim untuk menuntut pembebasan mereka yang ditahan.
      Ia juga berpesan agar selama perjalanan, massa jangan membuat anarkis. Tapi kegiatan ini tidak diikuti oleh para mubaligh karena mereka sudah diingatkan agar tidak keluar dari pusat pengajian.
Sampai di depan Polres Jakarta Utara massa dihadang aparat bersenjata. Jarak antara massa dengan aparat sangat dekat, kira-kira lima meter. Tidak ada dialog antara Amir Biki dengan aparat. Lima belas orang petugas keamanan menghambat kerumunan atau gerakan massa tersebut. Regu keamanan berusaha membubarkan massa dengan secara persuasif, namun dijawab dengan teriakan-teriakan yang membangkitkan emosi dan keberingasan massa. Massa terus maju mendesak satuan keamanan sambil mengayun-ayunkan dan mengacung-acungkan celurit.
      Tak berapa lama ada komando untuk mundur. Pasukan terlihat mundur kira-kira 10 meter. Lalu ada komando “tembak”. Dalam jarak yang sudah membahayakan, regu keamanan mulai memberikan tembakan peringatan dan tidak dihiraukan. Tembakan diarahkan ke tanah dan kaki penyerang, korban pun tidak dapat dihindari. Setelah datang pasukan keamanan lainnya, barulah massa mundur, tetapi mereka membakar mobil, merusak beberapa rumah, dan apotek. Sekitar tiga puluh menit kemudian gerombolan menyerang kembali petugas keamanan, sehingga petugas keamanan dalam kondisi kritis dan terpaksa melakukan penembakan-penembakan untuk mencegah usaha perusuh merebut senjata dan serangan-serangan dengan celurit dan senjata tajam lainnya. Terjadilah tragedi pembantaian itu.
      Aparat yang bersenjata itu menghujani tembakan terhadap ribuan massa dengan leluasa. Teriakan minta tolong tidak dihiraukan. Mereka yang berada di barisan depan bertumbangan bersimbah darah. Yang masih selamat melarikan diri. Ada juga yang tiarap, menghindari sasaran-sasaran peluru. Beberapa truk datang untuk mengangkut tubuh-tubuh korban dan menguburkannya di suatu tempat.

       Proses Hukum
      Hingga hari ini tak ada keadilan yang diberikan bagi korban yang dulunya ditembaki, ditangkap semena-mena, ditahan secara sewenang-wenang, disiksa, dihilangkan, distigma dan harta bendanya dirampas serta hak atas pekerjaan dan pendidikannya dirampas. Masih terang diingatan korban, bagaimana pada tahun 2006 Mahkamah Agung memperagakan parade pembebasan hukum (Impunitas secara De Jure) terhadap sejumlah nama yang seharusnya bertanggung jawab; Sriyanto, Pranowo, Sutrisno Mascung dan RA. Butar-Butar. Kegagalan Peradilan HAM untuk menghukum sesungguhnya telah tergambar dari buruknya kinerja Penuntut Umum.
      Selain menghapus nama (Alm.) LB Moerdani dan Try Sutrisno dalam proses penyidikan, Kejaksaan Agung justru membuktikan kejahatan luar biasa (Extra Ordinary Crime) pada kasus Tanjung Priok dengan sistem pidana umum (Ordinary Crime) yang berbasis pada KUHAP.
Kegagalan lain diakibatkan oleh persoalan politik bahwa tidak adanya jaminan dari otoritas negara dalam mendukung administratif atas kerja Pengadilan HAM atas kasus Tanjung Priok. Selain itu Pemerintah tidak menyiapkan sistem perlindungan saksi yang memadai. Sementara, di pengadilan, Hakim membiarkan upaya sogok-menyogok terjadi antara pelaku dengan sejumlah saksi untuk mencabut kesaksian.
      Pengadilan HAM bukan hanya gagal memberikan kepastian hukum berupa penghukuman terhadap para pelaku dalam kasus Tanjung Priok, Pengadilan Juga gagal memberikan kebenaran yang sejati atas kasus Tanjung Priok serta gagal menjamin kepastian reparasi (Perbaikan) atas penderitaan dan kerugian para korban Kasus Tanjung Priok 1984. Banyak diantara para korban yang masih mempertanyakan keberadaan keluarganya yang masih hilang. Banyak diantara para korban yang sampai hari ini harus menanggung biaya pengobatan akibat atau efek dari kekerasan yang dialami pada 12 September 1984 atau kekerasan-kekerasan berikutnya. Banyak diantara para korban yang harus kehilangan tempat usaha atau pekerjaannya akibat dirampas atau distigmatisasi sehingga tidak bisa mendapatkan pekerjaan.
      Demikian pula para korban yang masih anak-anak, tidak bisa melanjutkan sekolahnya. Atau anak-anak korban yang kehilangan ayah atau kakaknya yang diharapkan menjadi penopang ekonomi.
Usaha pun tetap dilakukan oleh para korban lewat Pengadilan Negeri pada 28 Februari 2007 menuntut Pemerintah mengeluarkan dana kompensasi bagi korban. Namun, lagi-lagi, Hakim tunggal Martini Marjan menolak mentah-mentah permohonan Penetapan Kompensasi para korban dengan alasan tidak ada pelanggaran berat HAM dalam kasus Tanjung Priok 1984. Jelas bahwa Hakim tunggal Martini Marjan Menegasikan fakta, penderitaan dan kerugian yang telah dihadirkan dalam persidangan Penetapan di PN Jakarta Pusat. Sampai saat ini Mahkamah Agung belum memutuskan kasasi yang telah diajukan sejak 5 Maret 2007. Dewi Wardah isteri Amir Biki, setia untuk tetap memperjuangkan keadilan terhadap kasus terbunuhnya sang suami, Amir Biki.
      Pada tahun 1984 itu, jelas korban telah dikorbankan oleh kebijakan anti kritik Soeharto dan brutalitas aparat keamanan. Pada era transisi politik, setelah belas… bahkan puluhan tahun upaya koreksi pun tetap didominasi oleh pelaku. Tidak ada yang dihukum, tidak ada perbaikan kondisi korban bahkan tidak diakui adanya pelanggaran berat HAM. Masyarakat terus dikorbankan dari perilaku kekerasan, menjadi korban sistem peradilan yang tidak adil dan jujur. Transisi politik tidak digunakan untuk mengambil pelajaran dari kegagalan dimasa lalu, sebagaimana yang terjadi pada kasus Tanjung Priok.
      Akan tetapi keluarga korban tidak pernah lupa dan akan tetap menuntut pertanggung jawaban pemerintah atas keadilan, kebenaran, maupun reparasi.



Sumber dan Referensi:

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Studi Kasus KFC

BUDAYA GOTONG ROYONG UNTUK PERKEMBANGAN EKONOMI

studi kasus pt mayora