KEPEMIMPINAN DAN BUDAYA ORGANISASI SUATU PERUSAHAAN
MAKALAH
ILMU
BUDAYA DASAR 3
“KEPEMIMPINAN
DAN BUDAYA ORGANISASI”
“PERUSAHAAN
TOYOTA”
Disusun
oleh :
Kelompok
V
Ari
Setiawan (11216038)
Inggit
Shintya Ramadhanti (13216525)
Muhammad
Reza Syahputra (15216049)
Septi
Triyunianti (16216919)
KELAS
1EA31
FAKULTAS
EKONOMI JURUSAN MANAGEMENT
Mata
Kuliah - Ilmu Budaya Dasar
Dosen –
Bapak Ari
KATA
PENGANTAR
Segala
puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat
serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan Makalah ini
tepat pada waktunya yang berjudul “Kepemimpinan dan Budaya Organisasi Toyota”.
Kami
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik
dan saran dari pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi
kesempurnaan makalah ini.
Akhir
kata, kami sampaikan terimakasih kepada semua pihak yang telah berperan serta
dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT
senantiasa meridhai segala usaha kita. Aamiin.
Bekasi, Desember 2016
Penyusun
DAFTAR
ISI
KATA
PENGANTAR........................................................................................................... i
DAFTAR
ISI.................................................................................................................... …ii
BAB
I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang............................................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah.......................................................................................................... 1
1.3. Tujuan Penulisan............................................................................................................ 1
BAB
II TINJAUAN PUSAKA
2.1.
Pengertian Kepemimpinan............................................................................................. 2
2.2.
Pengertian Budaya organisasi........................................................................................ 3
BAB III PEMBAHASAN DAN ANALISA
3.1
Sejarah Toyota............................................................................................................ 4-6
3.2 Kepemimpinan Perusahaan Toyota............................................................................. 7-8
3.3 Fungsi Dari Kepemimpinan........................................................................................... 9
3.4 Budaya Organisasi Perusahaan Toyota.................................................................... 10-14
BAB
III PENUTUP
4.1. Kesimpulan.................................................................................................................. 15
4.2 Saran............................................................................................................................. 15
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Latar
belakang dibuatnya makalah ini adalah kepemimpinan
merupakan tema yang populer, yang tidak saja dibicarakan dan diteliti oleh para
sarjana ilmu-ilmu sosial, ilmu perilaku, tapi yang dibicarakan pula oleh
masyarakat pada umumnya. Meskipun telah banyak teori kepemimpinan yang
dikembangkan, belum ada satu teori pun yang dirasakan paling sempurna.
Budaya organisasi juga mencakup simbol
(tindakan,rutinitas, percakapan, dan makna-makna yang dilekatkan orang pada
simbol-simbol ini. Makna dan pemahaman budaya dicapai melalui interaksi yang
terjadi antara karyawan dan pihak manajemen.
Karena budaya organisasi yang akan dibahas pada
penulisan ini adalah budaya organisasi pada perusahaan Toyota, maka
sebaiknya kita harus mempunyai pengetahuan dasar terlebih dahulu mengenai
poin-poin penting dari budaya organisasi itu sendiri.
1.2 Rumusan
masalah
1.
Pengertian
kepemimpinan
2.
Fungsi
kepemimpinan dalam perusahaan Toyota
3.
Pengertian
budaya organisasi
4.
Fungsi
budaya organisasi dalam perusahaan toyota
1.3 Tujuan
1.
Untuk
mengetahui pengertian kepemimpinan
2.
Untuk
memahami fungsi kepemimpinan dalam perusahaan Toyota
3.
Untuk
mengetahui pengertian budaya organisasi
4.
Untuk
memahami budaya organisasi dalam perusahaan Toyota
BAB
II
TINJAUAN PUSAKA
2.1 Pengertian Kepemimpinan
Kepemimpinan secara harfian berasal dari kata pimpin. Kata pimpin
mengandung pengertian mengarahkan, membina atau mengatur, menuntun dan juga
menunjukkan ataupun mempengaruhi.
Pemimpin mempunyai tanggung jawab baik secara fisik maupun spiritual
terhadap keberhasilan aktivitas kerja dari yang dipimpin, sehingga menjadi
pemimpin itu tidak mudah dan tidak akan setiap orang mempunyai kesamaan di
dalam menjalankan ke-pemimpinannya.
Menurut Wahjosumidjo (2005: 17) kepemimpinan di terjemahkan kedalam
istilah sifat- sifat, perilaku pribadi, pengaruh terhadap orang lain, pola-
pola, interaksi, hubungan kerja sama antarperan, kedudukan dari satu jabatan
administratif, dan persuasif, dan persepsi dari lain- lain tentang legitimasi
pengaruh.
Pemimpin adalah mereka yang menggunakan wewenang formal untuk
mengorganisasikan, mengarahkan, mengontrol para bawahan yang bertanggung jawab,
supaya semua bagian pekerjaan dikoordinasi demi mencapai tujuan perusahaan.
Pemimpin pertama-tama harus seorang yang mampu menumbuhkan dan mengembangkan
segala yang terbaik dalam diri para bawahannya.
Martinis Yamin dan Maisah (2010: 74) kepemimpinan adalah suatu proses
mempengaruhi yang dilakukan oleh seseorang dalam mengelola anggota kelompoknya
untuk mencapai tujuan organisasi. Kepemimpinan merupakan bentuk strategi atau
teori memimpin yang tentunya dilakukan oleh orang yang biasa kita sebut sebagai
pemimpin. Pemimpin adalah seseorang dengan wewenang kepemimpinannya mengarahkan
bawahannya untuk mengerjakan sebagian dari pekerjaannya dalam mencapai tujuan.
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan kepemimpinan merupakan cara
seorang pemimpin dalam mempengaruhi bawahan dengan karakteristik tententu
sehingga dapat mencapai tujuan yang diinginkan. Faktor keberhasilan seorang
pemimpin salah satunya tergantung dengan teknik kepemimpinan yang dilakukan
dalam menciptakan situasi sehingga menyebabkan orang yang dipimpinnya timbul
kesadarannya untuk melaksanakan apa yang dikehendaki.
2.2 Pengertian Budaya Organisasi
Budaya organisasi merupakan serangkaian nilai-nilai dan strategi, gaya kepemimpinan,
visi & misi serta norma-norma kepercayaan dan pengertian yang dianut oleh anggota
organisasi dan dianggap sebagai kebenaran bagi anggota yang baru yang menjadi
sebuah tuntunan bagi setiap elemen organisasi suatu perusahaan untuk membentuk
sikap dan perilaku.
Menurut Harvey dan Brown (dalam Bahan Bacaan Pengantar Imu Administrasi
Bisnis, 2009:135) mendefinisikan budaya organisasi sebagai suatu sistem nilai
dan kepercayaan bersama yang berinteraksi dengan orang-orang, struktur dan
sistem suatu organisasi untuk menghasilkan norma-norma perilaku. Budaya
organisasi merupakan pedoman berprilaku bagi orang-orang dalam perusahaan.
Budaya organisasi merupakan sistem penyebaran kepercayaan dan nilai-nilai
yang berkembang dalam suatu organisasi dan mengarahkan perilaku anggota-anggotanya.
Budaya organisasi dapat menjadi instrumen keunggulan kompetitif yang utama,
yaitu bila budaya organisasi mendukung startegi organisasi, dan bila budaya
organisasi dapat menjawab atau mengatasi tantangan lingkungan dengan cepat dan
tepat.
Budaya organisasi adalah seperangkat asumsi atau sistem keyakinan,
nilainilai dan norma yang dikembangkan dalam organisasi yang dijadikan pedoman tingkah
laku bagi anggota-anggotanya untuk mengatasi masalah adaptasi eksternal dan
integrasi internal (Mangkunegara, 2005:113).
Berdasarkan pengertian tersebut maka
ditarik kesimpulan bahwa pengertian budaya organisasi merupakan seperangkat
asumsi atau system keyakinan, nilai-nilai dan norma yang dianut oleh setiap
anggota organisasi yang dijadikan sebagai pedoman membentuk dan mengarahkan
perilaku dalam mengatasi masalah akibat adanya perubahan.
BAB III
PEMBAHASAN DAN ANALISA
3.1 SEJARAH
TOYOTA
Sejarah
toyota Toyota Motor Corporation didirikan
pada September 1933 sebagai divisi mobil Pabrik Tenun Otomatis Toyota. Divisi
mobil perusahaan tersebut kemudian
dipisahkan pada 27 Agustus 1937 untuk menciptakan Toyota Motor Corporation seperti saat ini. Berangkat dari industri tekstil,
Toyota menancapkan diri sebagai salah satu pabrikan otomotif yang cukup
terkemuka di seluruh dunia. Merek yang memproduksi 1 mobil tiap 6 detik ini
ternyata menggunakan penamaan Toyota lebih karena penyebutannya lebih enak
daripada memakai nama keluarga pendirinya, Toyoda. Inilah beberapa tonggak
menarik perjalanan Toyota. Toyota
merupakan pabrikan mobil terbesar ketiga di dunia dalam unit sales dan net
sales. Pabrikan terbesar di Jepang ini menghasilkan 5,5 juta unit mobil di
seluruh dunia. Jika dihitung,
angka ini ekuivalen dengan memproduksi 1 unit mobil dalam 6 detik.
Toyota sendiri didirikan oleh Sakichi Toyoda, yang berawal dari sebuah industri tekstil (Marimutu Sinivasan, pendiri Texmaco, usahawan besar tekstil di Indonesia, berusaha menirunya dengan mengembangkan sektor otomotif bermerek PERKASA.
angka ini ekuivalen dengan memproduksi 1 unit mobil dalam 6 detik.
Toyota sendiri didirikan oleh Sakichi Toyoda, yang berawal dari sebuah industri tekstil (Marimutu Sinivasan, pendiri Texmaco, usahawan besar tekstil di Indonesia, berusaha menirunya dengan mengembangkan sektor otomotif bermerek PERKASA.
Dibandingkan
dengan industri-industri otomotif lain yang menggunakan nama pendirinya sebagai
merek dagang seperti Honda yang didirikan oleh Soichiro Honda, Daimler-Benz
(Gottlieb Daimler dan Karl Benz, Ford (Henry Ford, nama Toyoda tidaklah dipakai
sebagai merek. Karena berangkat dari pemikiran sederhana dan visi waktu itu,
penyebutan Toyoda kurang enak didengar dan tidak akrab dikenal sehingga
diplesetkan menjadi Toyota. Sakichi
Toyoda lahir pada bulan Februari 1867 di Shizuoka, Jepang. Pria ini dikenal
sebagai penemu sejak berusia belasan tahun. Toyoda mengabdikan hidupnya
mempelajari dan mengembangkan perakitan tekstil. Dalam usia 30 tahun Toyoda
menyelesaikan mesin tenun. Ini kemudian mengantarnya mendirikan cikal bakal
perakitan Toyota, yakni Toyoda Automatic Loom Works, Ltd. pada November 1926. Di sini hak paten mesin tekstil
otomatisnya kemudian dijual kepada Platt Brothers & Co Ltd. dari Inggris,
Britania Raya.
Hasil
penjualan paten ini, dijadikan modal pengembangan divisi otomotif. Mulai tahun
1933, ketika Toyoda membangun divisi otomotif, tim yang kemudian banyak
dikendalikan oleh anaknya Kiichiro Toyoda, tiada henti menghasilkan
inovasi-inovasi terdepan di zamannya. Mesin Tipe A berhasil dirampungkan pada
1934. Setahun kemudian mesin ini dicangkokkan prototipe pertama mobil penumpang
mereka, A1. Divisi otomotif Toyoda juga menghasilkan truk model G1.
Di tahun 1936 mereka meluncurkan mobil penumpang pertama mereka, Toyoda AA (kala itu masih menggunakan nama Toyoda). Model ini dikembangkan dari prototipe model A1 dan dilengkapi bodi dan mesin A. Kendaraan ini dari awal diharapkan menjadi mobil rakyat. Konsep produk yang terus dipegang Toyota hingga sekarang.
Empat tahun menunggu dirasa cukup melahirkan perusahaan otomotif sendiri dan melepaskan diri dari industri tekstil mereka. Kemudian tahun 1937 mereka meresmikan divisi otomotif dan memakai nama Toyota, bukan Toyoda seperti nama industri tekstil. Pengambilan nama Toyota dalam bahasa Jepang terwakili dalam 8 karakter, dan delapan adalah angka keberuntungan bagi kalangan masyarakat Jepang. Alasan lain yang dianggap masuk akal adalah industri otomotif merupakan bisnis gaya hidup dan bahkan penyebutan sebuah nama (dan seperti apa kedengarannya), menjadi sisi yang begitu penting. Karena nama Toyoda dianggap terlalu kaku di dalam bisnis yang dinamis sehingga diubah menjadi Toyota yang dirasa lebih baik. Tak ayal, tahun 1937 merupakan era penting kelahiran Toyota Motor Co, Ltd. cikal bakal raksasa Toyota Motor Corp (TMC) sekarang. Semangat inovasi Kiichiro Toyoda tidak pernah redup. Toyota kemudian berkembang menjadi penghasil kendaraan tangguh. Di era 1940-an, Toyota sibuk mengembangkan permodalan termasuk memasukkan perusahaan di lantai bursa di Tokyo, Osaka dan Nagoya.
Setelah era Perang Dunia II berakhir, tahun 1950-an merupakan pembuktian Toyota sebgai penghasil kendaraan serba guna tangguh. Waktu itu kendaraan Jeep akrab di Jepang. Terinspirasi dari mobil ini, Toyota kemudian mengembangkan prototipe Land Cruiser yang keluar tahun 1950. Setahun kemudian meluncurkan secara resmi model awal Land Cruiser yakni model BJ. Bulan Juli tahun itu, test drivernya Ichiro Taira mengakhiri uji coba dengan hasil luar biasa. Diinspirasi oleh tokoh Samurai Heikuro Magaki yang mendaki Gunung Atago di atas kuda tahun 1643, Taira mengemudikan Toyota BJ-nya ke kuil Fudo di kota Okasaki. Ini sekaligus dipakai sebagai promosi ketangguhan mobil segala medan ini. Tak lama berselang, Toyota Land Cruiser mulai menandingi dominasi Jeep Willys. Bahkan dengan model-model selanjutnya, Toyota Land Cruiser bisa diterima di pasar yang kala itu sulit ditembus yakni Amerika Utara. Lewat model ini, Toyota masuk ke pasar-pasar di berbagai belahan dunia, Termasuk di Indonesia yang dikenal sebagai sebagai Toyota Hardtop Land Cruiser FJ40/45. Di Afrika, model-model Toyota Land Cruiser ini digunakan sebagai Technical alias jip bersenjata yang dibekali senapan mesin ringan, berat atau bahkan senjata basoka tanpa tolak balik (Recoilless bazooka) dan diterjunkan sepanjang konflik-konflik bersenjata dengan kinerja sangat tangguh. Toyota tidak hanya dikenal melalui Toyota Land Cruiser. Mereka juga mengembangkan model yang menjadi favorit dunia, sedan kecil. Lewat Corolla yang memulai debutnya pada tahun 1966, sedan mungil generasi awal ini memakai penggerak belakang mengubah tatanan sedan bongsor yang populer saat itu menuju arah sedan kecil yang kompak, irit dan ringkas. Memasuki tahun 1975, Corolla masuk dalam generasi ketiga dan terjual lebih dari 5 juta unit. Hal yang menakjubkan ini masih kokoh hingga sekarang. Mesin mobil Corolla ini kemudian digunakan di Indonesia sebagai mesin untuk kendaraan niaga keluarga serbaguna, Toyota Kijang generasi awal yang dikenal sebagai Kijang Buaya. Sejalan makin mengglobalnya produk Toyota, mereka sadar tidak mempunyai grafik logo. Bahkan di Indonesia dijumpai kendaraan bermerk Toyota seperti Toyota Kijang dengan logo TOYOTA pada grill di bagian bonnet (hidung) mobil. Di tahun 1989 Toyota akhirnya memutuskan untuk membuat dua lingkaran oval (elips) yang menghasilkan huruf T dan ellips ketiga mengisyaratkan akan the spirit of understanding in design. Lingkaran ketiga itu sekaligus mengelilingi kedua lingkaran ellips sebelumnya yang berbentuk T itu sebagai bukti menjaga dan mempengaruhi sekelilingnya. Di tahun 1990-an, Toyota semakin membuktikan bahwa mobil Jepang dapat bersaing dengan mobil Eropa dan Amerika. Toyota Celica berhasil menjadi juara rally dunia, dan Toyota Camry menjadi mobil paling laris di Amerika. Dengan sejarah toyota diatas maka pada paper berikut ini penulis akan membahas faktor-faktor yang mendukung mengapa kesuksesan Toyota dalam menghadapi persaingan internasional,tetapi penulis akan lebih menjelaskan faktor budaya (Toyata Way) yang merupakan faktor utama mengapa Toyota bisa menjadi perusahaan otomotif terbesar di dunia.
Di tahun 1936 mereka meluncurkan mobil penumpang pertama mereka, Toyoda AA (kala itu masih menggunakan nama Toyoda). Model ini dikembangkan dari prototipe model A1 dan dilengkapi bodi dan mesin A. Kendaraan ini dari awal diharapkan menjadi mobil rakyat. Konsep produk yang terus dipegang Toyota hingga sekarang.
Empat tahun menunggu dirasa cukup melahirkan perusahaan otomotif sendiri dan melepaskan diri dari industri tekstil mereka. Kemudian tahun 1937 mereka meresmikan divisi otomotif dan memakai nama Toyota, bukan Toyoda seperti nama industri tekstil. Pengambilan nama Toyota dalam bahasa Jepang terwakili dalam 8 karakter, dan delapan adalah angka keberuntungan bagi kalangan masyarakat Jepang. Alasan lain yang dianggap masuk akal adalah industri otomotif merupakan bisnis gaya hidup dan bahkan penyebutan sebuah nama (dan seperti apa kedengarannya), menjadi sisi yang begitu penting. Karena nama Toyoda dianggap terlalu kaku di dalam bisnis yang dinamis sehingga diubah menjadi Toyota yang dirasa lebih baik. Tak ayal, tahun 1937 merupakan era penting kelahiran Toyota Motor Co, Ltd. cikal bakal raksasa Toyota Motor Corp (TMC) sekarang. Semangat inovasi Kiichiro Toyoda tidak pernah redup. Toyota kemudian berkembang menjadi penghasil kendaraan tangguh. Di era 1940-an, Toyota sibuk mengembangkan permodalan termasuk memasukkan perusahaan di lantai bursa di Tokyo, Osaka dan Nagoya.
Setelah era Perang Dunia II berakhir, tahun 1950-an merupakan pembuktian Toyota sebgai penghasil kendaraan serba guna tangguh. Waktu itu kendaraan Jeep akrab di Jepang. Terinspirasi dari mobil ini, Toyota kemudian mengembangkan prototipe Land Cruiser yang keluar tahun 1950. Setahun kemudian meluncurkan secara resmi model awal Land Cruiser yakni model BJ. Bulan Juli tahun itu, test drivernya Ichiro Taira mengakhiri uji coba dengan hasil luar biasa. Diinspirasi oleh tokoh Samurai Heikuro Magaki yang mendaki Gunung Atago di atas kuda tahun 1643, Taira mengemudikan Toyota BJ-nya ke kuil Fudo di kota Okasaki. Ini sekaligus dipakai sebagai promosi ketangguhan mobil segala medan ini. Tak lama berselang, Toyota Land Cruiser mulai menandingi dominasi Jeep Willys. Bahkan dengan model-model selanjutnya, Toyota Land Cruiser bisa diterima di pasar yang kala itu sulit ditembus yakni Amerika Utara. Lewat model ini, Toyota masuk ke pasar-pasar di berbagai belahan dunia, Termasuk di Indonesia yang dikenal sebagai sebagai Toyota Hardtop Land Cruiser FJ40/45. Di Afrika, model-model Toyota Land Cruiser ini digunakan sebagai Technical alias jip bersenjata yang dibekali senapan mesin ringan, berat atau bahkan senjata basoka tanpa tolak balik (Recoilless bazooka) dan diterjunkan sepanjang konflik-konflik bersenjata dengan kinerja sangat tangguh. Toyota tidak hanya dikenal melalui Toyota Land Cruiser. Mereka juga mengembangkan model yang menjadi favorit dunia, sedan kecil. Lewat Corolla yang memulai debutnya pada tahun 1966, sedan mungil generasi awal ini memakai penggerak belakang mengubah tatanan sedan bongsor yang populer saat itu menuju arah sedan kecil yang kompak, irit dan ringkas. Memasuki tahun 1975, Corolla masuk dalam generasi ketiga dan terjual lebih dari 5 juta unit. Hal yang menakjubkan ini masih kokoh hingga sekarang. Mesin mobil Corolla ini kemudian digunakan di Indonesia sebagai mesin untuk kendaraan niaga keluarga serbaguna, Toyota Kijang generasi awal yang dikenal sebagai Kijang Buaya. Sejalan makin mengglobalnya produk Toyota, mereka sadar tidak mempunyai grafik logo. Bahkan di Indonesia dijumpai kendaraan bermerk Toyota seperti Toyota Kijang dengan logo TOYOTA pada grill di bagian bonnet (hidung) mobil. Di tahun 1989 Toyota akhirnya memutuskan untuk membuat dua lingkaran oval (elips) yang menghasilkan huruf T dan ellips ketiga mengisyaratkan akan the spirit of understanding in design. Lingkaran ketiga itu sekaligus mengelilingi kedua lingkaran ellips sebelumnya yang berbentuk T itu sebagai bukti menjaga dan mempengaruhi sekelilingnya. Di tahun 1990-an, Toyota semakin membuktikan bahwa mobil Jepang dapat bersaing dengan mobil Eropa dan Amerika. Toyota Celica berhasil menjadi juara rally dunia, dan Toyota Camry menjadi mobil paling laris di Amerika. Dengan sejarah toyota diatas maka pada paper berikut ini penulis akan membahas faktor-faktor yang mendukung mengapa kesuksesan Toyota dalam menghadapi persaingan internasional,tetapi penulis akan lebih menjelaskan faktor budaya (Toyata Way) yang merupakan faktor utama mengapa Toyota bisa menjadi perusahaan otomotif terbesar di dunia.
3.2
Kepemimpinan Perusahaan Toyota
Ø STRUKTUR
KEPEMIMPINAN
Presiden Direktur : Johnny Darmawan Danusasmita
Wakil Presiden Direktur : Hideyuki Imai
Direktur Marketing : Rahmat Samulo dan Yuji Takarada
Direktur Finansial : Samuel Manasseh dan Tomoo Takekawa
Dibalik kesuksesan PT Toyota Astra Motor pun tidak
akan luput dari peran seorang pemimpin yang mampu membawa perusahaan yang
dipimpinnya menjadi perusahaan yang sukses. Pemimpin tersebut yaitu Johnny
Darmawan Danusasmita.Beliau adalah CEO terbaik Indonesia tahun 2009 dan 2011.
Johnny Darmawan Danusasmita adalah salah satu tokoh di
Indonesia yang mempunyai kepemimpinan yang baik dan patut untuk kita contoh.
Beliau dikenal sebagai sosok yang santun, ramah, dan rendah hati dalam
bersosialisasi, tetapi juga sosok yang berani, tegas, dan visioner. Dikalangan
karyawannya, beliau dikenal sebagai sosok yang ramah. Karena tak jarang beliau
untuk langsung terjun kelapangan menyapa bawahannya sekaligus mengontrol
laporan yang ia terima dari manajernya.
Dikutip dalam majalah IAI, beliau mengatakan bahwa
peran tim sangat penting untuk meraih keberhasilan, dan peran doa memuluskan
segala kerja keras bersama yang dilakukan. Dari seorang Johnny Darmawan
Danusasmita ada hal yang perlu kita contoh dari beliau yaitu, sifat
kepemimpinannya. Dikutip dari Majalah IAI, dalam konsep kepemimpinan yang
beliau terapkan, senantiasa mengaplikasikan tigawinning. Pertama, winning
concept, seorang pemimpin harus mempunyai konsep ke depan, mau melakukan
apa ke depannya sudah jelas jalannya. Kedua, winning system untuk
menjalankan konsep tersebut. Dan ketiga winning team, karena untuk
menyukseskan itu semua dibutuhkan tim yang kuat dan solid.
3.3
Fungsi Kempemimpinan
1. Fungsi Kepemimpinan dalam Organisasi
Fungsi kepemimpinan
berhubungan langsung dengan situasi sosial dalam kehidupan kelompok/ organisasi
masing-masing, yang mengisyaratkan bahwa setiap pemimpin berada di dalam dan
bukan di luar situasi itu.
Fungsi kepemimpinan
memiliki dua dimensi seperti:
a.
Dimensi yang berkenaan dengan tingkat
kemampuan mengarahkan (direction) dalam tindakan atau aktivitas
pemimpin.
b.
Dimensi yang berkenaan dengan tingkat
dukungan (support) atau keterlibatan orang-orang yang dipimpin
dalam melaksanakan tugas-tugas pokok kelompok/ organisasi.
Secara operasional
dapat dibedakan dalam lima fungsi pokok kepemimpinan, yaitu:
a. Fungsi
instruktif
Fungsi ini bersifat
komunikasi satu arah. Pemimpin sebagai komunikator merupakan pihak yang
menentukan apa, bagaimana, bilamana, dan di mana perintah itu dikerjakan agar
keputusan dapat dilaksanakan secara efektif.
b. Fungsi
konsultatif
Fungsi ini bersifat
komunikasi dua arah. Pada tahap pertama dalam usaha menetapkan keputusan,
pemimpin kerapkali memerlukan bahan pertimbangan, yang mengharuskanya
berkonsultasi dengan orang-orang yang dipimpinya yang dinilai mempunyai
berbagai bahan informasi yang diperlukan dalam menetapkan keputusan. Tahap
berikutnya konsultasi dari pimpinan pada orang-orang yang dipimpin dapat
dilakukan setelah keputusan ditetapkan dan sedang dalam pelaksanaan.
c. Fungsi
partisipasi
Dalam menjalankan
fungsi ini pemimpin berusaha mengaktifkan orang-orang yang dipimpinya, baik
dalam keikutsertaan mengambil keputusan maupun dalam melaksanakanya.
d. Fungsi
delegasi
Fungsi ini dilaksanakan
dengan memberikan pelimpahan wewenang membuat/ menetapkan keputusan, baik
melalui persetujuan maupun tanpa persetujuan dari pimpinan. Fungsi delegasi
pada dasarnya berarti kepercayaan.
e. Fungsi
pengendalian
Fungsi pengendalain
bermaksud bahwa kepemimpinan yang sukses/ efektif mampu mengatur aktivitas
anggotanya secara terarah dan dalam koordinasi yang efektif, sehingga
memungkinkan tercapainya tujuan bersama secara maksimal. Fungsi pengendalian
dapat diwujudkan melalui kegiatan bimbingan, pengarahan, koordinasi, dan
pengawasan.
3.4 Budaya
dan Organisasi
Dasar Budaya Perusahaan Toyota
Dalam
Bahasa Jepang tsukuri (berarti membuat atau bertumbuh) juga mendeskripsikan
bagaimana Toyota mendukung karyawan untuk menjadikan ide dan
mentransformasikannya di dalam perusahaan guna menghadapi perubahan di dalam
lingkungan bisnis.Penekanan dalam mengubah pengetahuan tacit perorangan menjadi
milik perusahaan senantiasa menekankan kepada hubungan antar manusia.
Budaya
perusahaan Toyota atau lebih dikenal sebagai Toyota Way diciptakan berdasar
pada basis SDM dimana perusahaan mempercayai bahwa Toyota terdiri dari orang
(Hito dalam bahasa Jepang), dan membangun kemampuan manusia/ SDM (Hito-tsukuri)
melalui pelatihan,coaching dan mentoring sebagai tanggung jawab
utama di dalam perusahaan.
Toyota
Way dibentuk oleh dua pilar utama dan pilar tersebut menciptakan lima
nilai yang dapat menumbuhkan budaya perusahaan (corporate culture) yaitu:
Pilar
Pertama yaitu peningkatan berkelanjutan (continuous improvement) yaitu
memiliki keinginan untuk terus meningkatkan bisnis melalui penciptaan ide-ide
dan upaya yang terbaik untuk menghasilkangood products and services
quality.yang direpresentasikan dalamtiga nilai yaituchallenge(tantangan)
artinya membuat suatu keputusan manajemen dalam berbisnis berdasarkan filosofi
jangka panjang,kaizen yaitu pembelajaran organisasi secara terus menerus
dengan melihat masa depan, dangenchi genbutsu.yaitu melihat realita yang
ada di depan mata agar lebih memahami situasi dengan benar.
Pilar
kedua, adalah respect for people (rasa hormat terhadap orang
lain) yang menekankan bahwa memilikirespect kepada sesama merupakan hal
penting dalam bisnis karena kesuksesan dari sebuah bisnis diciptakan dari usaha
individu danteamwork yang baik.Respect for people menumbuhkandua
nilaiyaiturespect danteamwork. Dalam pemaparan tentang Toyota Way beliau
pun menjelaskan 4P model Toyota Way yang menjadi dasar dariToyota Production
System(TPS) yang dipraktikkan di pabrik-pabrik Toyota di seluruh dunia,
yaituPhilosopy,Process, People/PartnersdanProblem Solving.
Konsep budaya telah menjadi arus utama dalam bidang antropologi sejak awal mula dan memperoleh perhatian dalam perkembangan awal studi perilaku organisasi.Bagaimanapun juga, baru-baru ini saja konsep budaya timbul ke permukaan sebagai suat dimensi utama dalam memahami perilaku organisasi (Hofstede 1986). Schein (1984) mengungkapkan bahwa banyak karya akhir-akhir ini berpendapat tentang peran kunci budaya organisasi untuk mencapai keunggulan organisasi. Mengingat keberadaan budaya organisasi mulai diakui arti pentingnya, maka telaah terhadap konsep ini perlu dilakukan terutama atas berbagai isi yang dikandungnya.Banyaknya definisi tentang budaya organisasi diajukan oleh para pakar seperti
halnya Robbins (1996) yang telah mendefinisikan budaya organisasi sebagai suatu"persepsi bersama yang dianut oleh anggota-anggota organisasi itu dan menjadi suatu sistem dari makna bersama." Sementara itu, Schein (1991) memilih definisi yang dapat menjelaskan bagaimana budaya berkembang, bagaimana budaya itu menjadi seperti sekarang ini, atau bagaimana budaya dapat diubah jika kelangsungan hidup organisasi sedang dipertaruhkan. Untuk itu diperlukan definisi yang dapat membantu memahami kekuatan-kekuatan evolusi dinamik yang mempengaruhi suatu budaya berkembang dan berubah. Schein akhirnya memberikan definisi yang lebih dapat diterima oleh berbagai pihak yaitu bahwa budaya organisasi merupakan : "a pattern of basic assumptions that a given group has invented, discovered, or developed in learning to cope with its problems of external adaptation and internal integration, and that have worked well enough to be considered valid, and therefore, to perceive, think, and feel in relation to those problems." Terdapat beberapa teori utama budaya organisasi yang telah meluas dikenal di kalangan teoritisi dan praktisi organisasi. Pertama adalah teori yang dikemukakan oleh Kluckhon-Strodtbeck (dalam Robbins 1996) yang mengemukakan enam dimensi budaya dasar. Masing-masing dimensi ini memiliki variasi yang membedakan antara budaya yang satu dengan budaya lainnya. Dimensi pertama adalah hubungan dengan lingkungan yang memiliki variasi dominasi terhadap lingkungan, harmoni dengan lingkungan, dan tunduk atau didominasi oleh lingkungan. Dimensi kedua adalah orientasi waktu yang memiliki variasi tentang orientasi pada masa lalu, masa kini, dan masa depan. Dimensi ketiga adalah kodrat atau sifat dasar manusia yang bervariasi tentang pandangan bahwa pada dasarnya manusia itu baik, atau buruk, atau campuran antara baik dan buruk. Dimensi keempat adalah orientasi kegiatan yang memiliki variasi adanya penekanan untuk melakukan tindakan, penekanan untuk menjadi atau mengalami sesuatu, dan penekanan pada upaya mengendalikan kegiatan. Dimensi kelima ialah fokus tanggungjawab yang mempunyai variasi individualistis, kelompok, atau hierarkis. Dimensi terakhir yaitu konsep ruang yang tumpuan variasinya terletak pada kepemilikan ruang yang terbagi pada variasi pribadi, publik atau umum, dan campuran antara keduanya.
Teori
berikutnya diungkapkan oleh Hofstede (1980 dan 1984) setelah mempelajari budaya
organisasi di berbagai negara yang akhirnya melahirkan empat dimensi budaya, yaitu :
individualisme, jarak kekuasaan, penghindaran ketidak-pastian, dan tingkat
maskulinitas.Individualisme berarti kecenderungan akan kerangka sosial yang
terajut longgar dalam masyarakat dimana individu dianjurkan untuk menjaga diri
mereka sendiri dan keluarga dekatnya. Kolektivisme berarti kecenderungan akan
kerangka sosial yang terajut ketat dimana individu dapat mengharapkan kerabat,
suku, atau kelompok lainnya melindungi mereka sebagai ganti atas loyalitas
mutlak. Isu utama dalam dimensi ini adalah derajat kesaling-tergantungan suatu
masyarakat diantara anggota-anggotanya. Hal ini berkait dengan konsep diri
masyarakat : "saya" atau "kami". Jarak kekuasaan merupakan
suatu ukuran dimana anggota dari suatu masyarakat menerima bahwa kekuasaan
dalam lembaga atau organisasi tidak didistribusikan secara merata. Hal ini
mempengaruhi perilaku anggota masyarakat yang kurang berkuasa dan yang
berkuasa. Orang-orang dalam masyarakat yang memiliki jarak kekuasaan besar
menerima tatanan hirarkis dimana setiap orang mempunyai suatu tempat yang tidak
lagi memerlukan justifikasi. Orang-orang dalam masyarakat yang berjarak
kekuasaan kecil menginginkan persamaan kekuasaan dan menuntut justifikasi atas
perbedaan kekuasaan. Isu utama atas dimensi ini adalah bagaimana suatu
masyarakat menangani perbedaan diantara penduduk ketika hal tersebut terjadi.
Hal ini mempunyai konsekuensi jelas terhadap cara orang-orang membangun lembaga
dan organisasi mereka (Hofstede 1983). Penghindaran ketidakpastian merupakan
tingkatan dimana anggota masyarakat merasa tak nyaman dengan ketidakpastian dan
ambiguitas. Perasaan ini mengarahkan mereka untuk mempercayai kepastian yang
menjanjikan dan untuk memelihara lembagalembaga yang melindungi penyesuaian.
Masyarakat yang memiliki penghindaran ketidakpastian yang kuat menjaga
kepercayaan dan perilaku yang ketat dan tidak toleran terhadap orang dan ide
yang menyimpang. Masyarakat yang mempunyai penghindaran ketidakpastian yang lemah
menjaga suasana yang lebih santai dimana praktek dianggap lebih dari prinsip
dan penyimpangan lebih dapat ditoleransi. Isu utama dalam dimensi ini adalah
bagaimana suatu masyarakat bereaksi atas fakta yang datang hanya sekali dan
masa depan yang tidak diketahui. Apakah ia mencoba mengendalikan masa depan
Atau membiarkannya berlalu. Seperti halnya jarak kekuasaan, penghindaran
ketidak pastian memiliki konsekuensi akan cara orang-orang mengembangkan
lembaga dan organisasi mereka. Maskulinitas berarti kecenderungan dalam
masyarakat akan prestasi, kepahlawanan, ketegasan, dan keberhasilan material.
Lawannya, feminitas berarti kecenderungan akan hubungan, kesederhanaan,
perhatian pada yang lemah, dan kualitas hidup. Isu utama pada dimensi ini
adalah cara masyarakat mengalokasikan peran sosial atas perbedaan jenis
kelamin.
Semangat penelitian Hofstede (dalam Gibson & Ivanicevich & Donnely 1996) ini mengundang perkembangan telaah budaya organisasi yang semakin meluas di kalangan teoritisi organisasi dan manajemen. Namun demikian beberapa kritik tetap dilontarkan berkaitan dengan keterbatasan penelitian tersebut untuk digeneralisasikan, serta keraguan akan validitas dan reliabilitas instrumen penelitian yang dipergunakan. Selain itu, kritik terutama tertuju pada kemampuan empat dimensi tersebut menjelaskan budaya yang sesungguhnya sehingga dianggap kurang mampu menjelaskan fenomena budaya yang jauh lebih kompleks. Selanjutnya adalah teori yang dikemukakan Schein (dalam Hatch 1997) yang mengungkapkan bahwa budaya organisasi dapat ditemukan dalam tiga tingkatan. Tingkat pertama adalah artifak (artifacts) dimana budaya bersifat kasat mata tetapi seringkali
tidak dapat diartikan. Tingkat kedua adalah nilai (values) yang memiliki tingkat kesadaran yang lebih tinggi daripada artifak. Tingkat ketiga adalah asumsi dasar dimana budaya diterima begitu saja (taken for granted), tidak kasat mata, dan tidak disadari. Tingkat analisis artifak bersifat kasat mata yang dapat dilihat dari lingkungan fisik organisasi, arsitektur, teknologi, tata letak kantor, cara berpakaian, pola perilaku yang dapat dilihat atau didengar, serta dokumen-dokumen publik seperti anggaran dasar,materi orientasi karyawan, dan cerita. Analisis pada tingkat ini cukup rumit karena data mudah didapat tetapi sulit ditafsirkan. Dengan analisis ini dapat diuraikan bagaimana suatu kelompok menyusun lingkungannya dan apa pola perilaku yang dapat dilihat dari kalangan anggotanya, tetapi seringkali analisis ini tidak dapat memahami logika yang mendasarinya, mengapa suatu kelompok berperilaku seperti yang mereka lakukan. Untuk menganalisis mengapa anggota berperilaku seperti yang mereka perlihatkan maka perlu diketahui nilai-nilai yang mengarahkan perilaku. Namun nilai
sulit diamati secara langsung, oleh karena itu seringkali perlu untuk menyimpulkan mereka melalui wawancara dengan anggota-anggota kunci organisasi atau menganalisis kandungan artifak seperti dokumen dan anggaran dasar. Tetapi, dalam mengidentifikasi nilai-nilai tersebut biasanya mereka menggambarkan secara akurat nilai-nilai yang didukung dalam budaya tersebut. Artinya, mereka difokuskan pada apa yang dikatakan orang sebagai alasan perilaku mereka. Apa yang secara ideal mereka harapkan merupakan alasan perilaku tersebut, dan yang seringkali merupakan rasionalisasi (baca :pembenaran) bagi perilaku mereka. Namun alasan mendasar bagi perilaku mereka tetap saja tersembunyi atau tidak disadari. Untuk benar-benar memahami suatu budaya dan untuk lebih memastikan secara lengkap nilai-nilai dan perilaku nyata dari suatu kelompok, perlu diselidiki asumsi yang mendasarinya, yang biasanya tidak disadari, tetapi secara aktual menentukan bagaimana para anggota kelompok berpersepsi, berpikir, dan merasakan. Asumsi seperti ini dengan sendirinya merupakan reaksi yang dipelajari yang bermula sebagai nilai-nilai yang didukung (espoused value). Tetapi ketika nilai menyebabkan perilaku dan ketika perilaku tersebut mulai memecahkan masalah, maka nilai itu ditransformasi menjadi asumsi dasar tentang bagaimana sesuatu itu sesungguhnya. Bila asumsi telah diterima begitu saja, maka kesadaran menjadi tersisih. Dengan kata lain perbedaan antara asumsi dengan nilai terletak pada apakah nilai-nilai tersebut masih diperdebatkan atau tidak. Bila nilai tersebut diterima apa adanya (taken for granted) maka ia disebut sebagai asumsi, namun bila ia masih bersifat terbuka dan dapat diperdebatkan maka istilah nilai lebih sesuai (Schein 1991). Mengacu kepada tingkatan asumsi dasar untuk memahami budaya organisasi, Schein memberikan beberapa asumsi dasar yang membentuk budaya organisasi. Asumsi dasar ini dapat dipergunakan sebagai alat untuk menilai budaya suatu organisasi. Beberapa dimensi asumsi dasar tersebut adalah :
Semangat penelitian Hofstede (dalam Gibson & Ivanicevich & Donnely 1996) ini mengundang perkembangan telaah budaya organisasi yang semakin meluas di kalangan teoritisi organisasi dan manajemen. Namun demikian beberapa kritik tetap dilontarkan berkaitan dengan keterbatasan penelitian tersebut untuk digeneralisasikan, serta keraguan akan validitas dan reliabilitas instrumen penelitian yang dipergunakan. Selain itu, kritik terutama tertuju pada kemampuan empat dimensi tersebut menjelaskan budaya yang sesungguhnya sehingga dianggap kurang mampu menjelaskan fenomena budaya yang jauh lebih kompleks. Selanjutnya adalah teori yang dikemukakan Schein (dalam Hatch 1997) yang mengungkapkan bahwa budaya organisasi dapat ditemukan dalam tiga tingkatan. Tingkat pertama adalah artifak (artifacts) dimana budaya bersifat kasat mata tetapi seringkali
tidak dapat diartikan. Tingkat kedua adalah nilai (values) yang memiliki tingkat kesadaran yang lebih tinggi daripada artifak. Tingkat ketiga adalah asumsi dasar dimana budaya diterima begitu saja (taken for granted), tidak kasat mata, dan tidak disadari. Tingkat analisis artifak bersifat kasat mata yang dapat dilihat dari lingkungan fisik organisasi, arsitektur, teknologi, tata letak kantor, cara berpakaian, pola perilaku yang dapat dilihat atau didengar, serta dokumen-dokumen publik seperti anggaran dasar,materi orientasi karyawan, dan cerita. Analisis pada tingkat ini cukup rumit karena data mudah didapat tetapi sulit ditafsirkan. Dengan analisis ini dapat diuraikan bagaimana suatu kelompok menyusun lingkungannya dan apa pola perilaku yang dapat dilihat dari kalangan anggotanya, tetapi seringkali analisis ini tidak dapat memahami logika yang mendasarinya, mengapa suatu kelompok berperilaku seperti yang mereka lakukan. Untuk menganalisis mengapa anggota berperilaku seperti yang mereka perlihatkan maka perlu diketahui nilai-nilai yang mengarahkan perilaku. Namun nilai
sulit diamati secara langsung, oleh karena itu seringkali perlu untuk menyimpulkan mereka melalui wawancara dengan anggota-anggota kunci organisasi atau menganalisis kandungan artifak seperti dokumen dan anggaran dasar. Tetapi, dalam mengidentifikasi nilai-nilai tersebut biasanya mereka menggambarkan secara akurat nilai-nilai yang didukung dalam budaya tersebut. Artinya, mereka difokuskan pada apa yang dikatakan orang sebagai alasan perilaku mereka. Apa yang secara ideal mereka harapkan merupakan alasan perilaku tersebut, dan yang seringkali merupakan rasionalisasi (baca :pembenaran) bagi perilaku mereka. Namun alasan mendasar bagi perilaku mereka tetap saja tersembunyi atau tidak disadari. Untuk benar-benar memahami suatu budaya dan untuk lebih memastikan secara lengkap nilai-nilai dan perilaku nyata dari suatu kelompok, perlu diselidiki asumsi yang mendasarinya, yang biasanya tidak disadari, tetapi secara aktual menentukan bagaimana para anggota kelompok berpersepsi, berpikir, dan merasakan. Asumsi seperti ini dengan sendirinya merupakan reaksi yang dipelajari yang bermula sebagai nilai-nilai yang didukung (espoused value). Tetapi ketika nilai menyebabkan perilaku dan ketika perilaku tersebut mulai memecahkan masalah, maka nilai itu ditransformasi menjadi asumsi dasar tentang bagaimana sesuatu itu sesungguhnya. Bila asumsi telah diterima begitu saja, maka kesadaran menjadi tersisih. Dengan kata lain perbedaan antara asumsi dengan nilai terletak pada apakah nilai-nilai tersebut masih diperdebatkan atau tidak. Bila nilai tersebut diterima apa adanya (taken for granted) maka ia disebut sebagai asumsi, namun bila ia masih bersifat terbuka dan dapat diperdebatkan maka istilah nilai lebih sesuai (Schein 1991). Mengacu kepada tingkatan asumsi dasar untuk memahami budaya organisasi, Schein memberikan beberapa asumsi dasar yang membentuk budaya organisasi. Asumsi dasar ini dapat dipergunakan sebagai alat untuk menilai budaya suatu organisasi. Beberapa dimensi asumsi dasar tersebut adalah :
1.
Keterkaitan lingkungan organisasi. Aspek ini mengamati asumsi yang lebih mendasar
tentang hubungan manusia dengan alam dan lingkungan. Dapat dinilai dengan
bagaimana anggota-anggota kunci organisasi memandang hubungan tersebut.
Terdapat tiga dimensi dari aspek ini. Pertama, tentang bagaimana mereka
memandang peran organisasi dalam masyarakat yang mana hal ini dapat dilihat
melalui jenis produk yang dihasilkan atau cara pelayanan yang diberikan, atau
dimana pasar utamanya, atau segmentasi pelanggan yang dibidik. Kedua, tentang
apa pandangan mereka terhadap lingkungan yang relevan dengan organisasi, apakah
lingkungan ekonomi, politik, teknologi, sosial-budaya, atau yang lainnya.
Ketiga, bagaimana pandangan mereka tentang posisi organisasi terhadap
lingkungan, apakah
organisasi mendominasi, atau didominasi oleh, atau seimbang dengan lingkungannya tersebut.
organisasi mendominasi, atau didominasi oleh, atau seimbang dengan lingkungannya tersebut.
2.
Hakikat realitas dan kebenaran. Aspek ini menyangkut pandangan anggota-anggota
organisasi tentang kaidah-kaidah linguistik dan keperilakuan yang menetapkan
mana yang riil dan mana yang tidak, mana yang fakta, bagaimana kebenaran akhirnya
ditentukan, dan apakah kebenaran diungkapkan atau ditemukan. Terdapat empat
dimensi dari aspek ini. Pertama, realitas fisik yang menyangkut persoalan
kriteria obyektif atas fakta. Kedua, realitas sosial yang mempersoalkan
konsensus atas opini, kebiasaan, dogma, dan prinsip. Ketiga, realitas subyektif
yang mempersoalkan pengalaman subyektif atas pendapat, kecenderungan, dan cita
rasa pribadi. Keempat,Mengenai kriteria kebenaran yang berarti bagaimana
kebenaran itu seharusnya ditentukan, apakah oleh tradisi, dogma, moral atau
agama, pendapat orang-orang bijak atau orang-orang yang berwenang, proses
hukum, resolusi konflik, uji coba, atau pengujian ilmiah.
3.
Hakikat sifat manusia. Aspek ini menyangkut pandangan segenap anggota
organisasi tentang apa yang dimaksud dengan manusia dan apa atribut-atribut
yang dianggap intrinsik atau puncak ? Terdapat dua dimensi dari aspek ini.
Pertama, tentang sifat dasar manusia yaitu apakah manusia pada dasarnya
bersifat baik, buruk, atau netral ? Kedua, mengenai perubahan sifat tersebut
yaitu apakah sifat manusia itu tetap (tidak dapat berubah) ataukah dapat
berubah dan disempurnakan ? Mana yang lebih baik misalnya antara teori X atau
teori Y ?
4.
Hakikat kegiatan manusia. Aspek ini menyangkut pandangan semua anggota organisasi
tentang hal-hal benar apa yang perlu dikerjakan oleh manusia atas dasar asumsi
mengenai realitas, lingkungan, dan sifat manusia diatas, apakah ia harus aktif,
pasif, pengembangan pribadi, fatalistik, atau yang lainnya ? Apa yang dimaksud
dengan kerja dan apa yang dimaksud dengan main ? Dimensi utama dari aspek ini
adalah sikap mental manusia terhadap lingkungan, yaitu apakah proaktif,
reaktif, ataukah harmoni ?
5.
Hakikat hubungan antar manusia. Aspek ini menyangkut pandangan manusia tentang
apa yang dipandang sebagai cara yang benar bagi manusia untuk saling
berhubungan, untuk mendistribusikan kekuasaan atau cinta ? Apakah hidup ini
kooperatif atau kompetitif; individualistik, kolaboratif kelompok atau komunal
? Yang jelas terdapat dua dimensi dari aspek ini. Pertama, struktur hubungan
manusiawi yang memiliki alternatif linealitas, kolateralitas, atau
individualitas. Kedua, struktur hubungan organisasi yang mempunyai variasi
otokrasi, paternalisme, konsultasi, partisipasi, delegasi, kolegialitas. Selanjutnya
Schein menambahkan pula dua asumsi dasar lagi dalam karyanya tersebut sebagai
sub dimensi hakikat realitas dan kebenaran.
Dua
asumsi tambahan ini adalah :
1.
Hakikat waktu. Aspek ini berkaitan dengan
pandangan anggota organisasi tentang orientasi dasar waktu. Terdapat tiga
dimensi dari aspek ini. Pertama, arahan fokus yang menyangkut masa lalu, kini,
dan masa mendatang. Kedua, konsep dasar wakt tentang apakah waktu itu bersifat
linear (monokronik), atau polikronik, atau siklikal. Ketiga, tentang apakah
ukuran waktu yang relevan yang berlaku dalam organisasi tersebut, yaitu apakah
mempergunakan satuan detik, menit, jam, hari, minggu, bukan, tahun, dan seterusnya.
2.
Hakikat Ruang. Aspek ini berkaitan
dengan pandangan anggota organisasi mengenai konsep ruang. Terdapat tiga
dimensi dalam aspek ini. Pertama, ketersediaan ruang yang menyangkut apakah
ruang itu tersedia, ataukah tersedia namun terbatas, ataukah terbatas dalam
pandangan orang-orang tersebut. Kedua, penggunaan ruang sebagai simbol yang
berkenaan dengan pandangan apakah ruang itu berfungsi sebagai status dan
kekuasaan, atau untuk keakraban, atau berfungsi sangat pribadi. Ketiga, fungsi
ruang sebagai norma 'jarak', yaitu jarak antara formal-informal , dan jarak
antara sahabat-teman, serta jarak dalam pertemuan dan hubungan dengan orang
luar.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Organisasi yang bertahan di masa depan adalah perusahaan yang memiliki
budaya organisasi kuat. Menjunjung tinggi dua prioritas, yaitu mendahulukan
kualitas dan mendahulukan keselamatan kerja akan mendorong loyalitas antara
karyawan dan pihak manajemen.
Perlu diciptakannya budaya organisasi yang dapat memberikan pengaruh besar terhadap kegiatan perusahaan. Hal ini memerlukan peran penting pemimpin dalam mengelola kepuasan karyawan terhadap kinerja perusahaan. Diperlukan penanaman sifat karyawan yang menyatu dengan perusahaan, bahwasa nya tujuan perusahaan adalah tujuan anggotanya juga.
Hal ini menjadi poin yang lebih unggul setelah kompetensi yang dimiliki masing-masing individu tercapai. Organisasi akan mengalami perubahan bentuk, namun secara keseluruhan pasti akan berciri sama. Tidak diragukan, organisasi akan cenderung memiliki model lebih adaptif atau hidup dibandingkan sebelumnya, yang diadopsi untuk tujuan tertentu.
Perlu diciptakannya budaya organisasi yang dapat memberikan pengaruh besar terhadap kegiatan perusahaan. Hal ini memerlukan peran penting pemimpin dalam mengelola kepuasan karyawan terhadap kinerja perusahaan. Diperlukan penanaman sifat karyawan yang menyatu dengan perusahaan, bahwasa nya tujuan perusahaan adalah tujuan anggotanya juga.
Hal ini menjadi poin yang lebih unggul setelah kompetensi yang dimiliki masing-masing individu tercapai. Organisasi akan mengalami perubahan bentuk, namun secara keseluruhan pasti akan berciri sama. Tidak diragukan, organisasi akan cenderung memiliki model lebih adaptif atau hidup dibandingkan sebelumnya, yang diadopsi untuk tujuan tertentu.
B.
Saran
Menggantikan budaya lama dengan yang baru jika itu memang lebih baik
terhadap kegiatan perusahaan. Meskipun untuk mengubah buadaya yang ada cukup
sulit, namun hal tersebut dapat ditempuh dengan cara perlahan dan tidak harus
mengubah buadaya yang ada secara
keseluruhan melainkan memperbaiki pada bagian-bagian yang diperlukan saja. Hal
ini berkenaan dengan proses pembudayaan yang memakan waktu yang cukup lama
dalam pembentukannya.
Langkah-Langkah Kegiatan Untuk memperkuat Budaya Organisasi suatu
perusahaan diperlukan poin-poin sebagai berikut :
1. Memantapkan nilai-nilai dasar budaya organisasi
1. Memantapkan nilai-nilai dasar budaya organisasi
2. Melakukan pembinaan
terhadap anggota organisasi
3. Memberikan contoh atau
teladan
4. Membuat acara-acara
rutinitas
5. Memberikan penilaian
dan penghargaan
6. Tanggap terhadap
masalah eksternal dan internal
7. Koordinasi dan kontrol
DAFTAR PUSTAKA
Robbins, S. 1996. Perilaku
Organisasi– Kontroversi– Aplikasi. Jilid II. Edisi
Komentar
Posting Komentar